Selasa, 21 Agustus 2012

Peninggalan Kaum Tsamud


Mada’en Shaleh: Situs Peninggalan Kaum Tsamud
(Catatan Perjalanan ESQ Leadership)
tsamud1
Perjalanan ke sana hanya bisa ditempuh lewat darat, kurang lebih 3,5 jam dari Madinah melalui highway ke arah kota Tabuk. Warga Saudi menyebut lokasi tersebut dengan sebutan Mantheqa Ahjar (wilayah bebatuan). Maklum, seluruh penjuru daerah Al-Ula’ (nama kota wilayah Mada’en Shaleh sekarang) dikelilingi oleh gunung-gunung batu alami nan eksotis.
Sepanjang perjalanan antara Madinah dan Mada’en Shaleh, ada dua kota kecil Al-Lahn dan Khaebar. Perkampungan tersebut dikenal sebagai basis daerah badui (orang primitif) Saudi untuk wilayah utara. Perilaku mereka terkenal sebagai mukhalif, antihukum. Jangan kaget, kalau tiba-tiba dalam perjalanan, kaki pengemudi harus menginjak pedal rem secara tiba-tiba.
Meskipun suku badui Saudi sekarang sudah berkendaran mobil, di jalanan, mereka paling alergi terhadap rambu-rambu lalulintas. Mengenderai mobil tak ubah seperti halnya menunggang unta. Di sepanjang jalan di dua kota tersebut, mobil berseliweran melawan jalur arah highway. Mayoritas, mereka menggunakan mobil jenis pick up double cabin — orang Saudi menyebutnya “unet.” Papan peringatan bergambar unta menghiasi sepanjang perjalanan. Binatang khas gurun tersebut bebas berkeliaran di pinggir jalan raya, cukup untuk memanjakan pandangan mata di tengah gurun yang gersang sepanjang perjalanan.
Saat musim panas, antara April hingga September, wilayah Al-Ula’ dikenal sebagai daerah super panas, bisa mencapai 55 derajat. Namun, ketika musim dingin, suhu mendekati 0 derajat. Umumnya, masyarakat di sana menggunakan AC dwifungsi. Saat musim panas, difungsikan sebagai pendingin ruangan, sebaliknya, ketika suhu musim dingin menggigit, difungsikan sebagai penghangat. Al-Ula’ juga dikenal sebagai daerah paling strategis di Saudi Arabia untuk melihat hilal (bulan), faktor penentu hari yang tepat saat memasuki bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
Ketika memasuki wilayah Al-Ula’, aura lingkungan kota terasa kembali ke suasana ribuan tahun lalu. Ratusan gunung bebatuan terlihat seperti dipahat dan diukir mengeli­lingi kota tersebut. Reruntuhan bangungan rumah dan gedung dari tanah liat tanpa bahan semen dan batu, menambah keyakinan bahwa Al-Ula’ adalah kota sejarah tertua di daratan Saudi Arabia.
Total luas wilayahnya 30.000 km2. penduduknya hanya 70.000 jiwa. Roda kehidupan untuk kelas pekerja didominasi asing. Mayoritas pekerja datang dari Bangladesh dan Pakistan. Tenaga kerja asal Indonesia nyaris tak terlihat. Warga setempat belum banyak yang memanfa’atkan tenaga sopir pribadi.
Sadar memiliki kapasitas air yang melimpah, mayoritas penduduk Al-Ula’ mengandalkan penghasilan hidup dari bertani. Kurma, jeruk, semanggi, gandum, sayuran, semangka dan melon menjadi hasil andalan. Pendapatan selebihnya didapat dari pariwisata sebagai kota sejarah dan penelitian situs purbakala. Hotel Araak, yang berlokasi tepat di balik gunung bebatuan alami yang menakjubkan, menjadi satu-satunya hotel primadona para turis dan peneliti yang datang dari berbagai belahan dunia.
Dahulu, pada abad keenam sebelum Masehi, kota itu dikenal dengan sebutan Didan. Pada zamannya, Didan menjadi rute utama para pedagang kurma dan rempah-rempah. Kota itu juga menjadi fasilitator antara saudagar yang datang dari India dengan saudagar semenanjung Arab bagian selatan. Juga para saudagar dari negeri Syam (Syiria), Mesir, Irak dan semenanjung Arab bagian utara.
Berjalan 22 km ke arah timur laut dari kota Al-Ula’, terhamparlah kota batu Mada’en Shaleh. Kawasan itu luasnya 25 km2, sekelilingnya di pagar kawat. Tidak seorang pun bisa memasuki kawasan bersejarah tersebut, kecuali melewati satu pintu gerbang yang dijaga ketat polisi sebagai penjaga situs purbakala.
Polisi penjaga pantang memberikan izin masuk manakala pengunjung tidak mengantongi surat keterangan diri yang dikeluarkan oleh dinas museum kota Al-Ula’. Setelah memeriksa berkas identitas pengunjung, ia masih bertanya: “Apakah kalian membawa kamera video? Alat yang diperbolehkan cuma kamera foto, dilarang keras mendokumentasikan wilayah ini dengan kamera video,” kata sang penjaga, Abdurrahman al-Anzy, dengan suara setengah berteriak.
Mengingat luasnya, mengelilingi Meda’en Shaleh tidak bisa dengan berjalan kaki. Mobil harus dibawa masuk. Menelusuri satu situs gunung batu ke situs lainnya ditempuh melalui jalan setapak padang pasir yang bisa membuat mobil terperosok dan slip. Maka, baiknya menggunakan kendaraan jenis jip gurun, dijamin aman.
Gunung-gunung batu tersebut dibentuk kaum Tsamud menjadi istana, rumah, dan kuburan para petinggi kaum. Pahatan ukiran dan ornamennya sangat halus dan indah, menakjubkan. Wilayah kekuasaan kaum Tsamud membentang hingga ke wilayah Petra (Yordania). Bedanya, Petra sudah dijadikan komoditi parawisata inti Yordania selain Laut Mati. Sedangkan Mada’en Shaleh masih menjadi perdebatan antara kepentingan dinas pariwisata Saudi yang mulai mengangkat Mada’en Shaleh sebagai komoditi pariwisata, dengan para ulama yang berpendapat bahwa tempat tersebut adalah situs peninggalan “kaum terlaknat,” sehingga umat Islam diharamkan untuk menziarahinya.
Dikisahkan dalam Al-Qur’an, pada zamannya, kaum Tsamud memiliki keahlian arsitektur luar biasa. Nabi Shaleh, nabi kelima dari 25 nabi dan rasul yang tertulis, diutus Allah SWT, mengajak mereka untuk bertauhid. Namun, kaum Tsamud tidak menerima Nabi Shaleh begitu saja. Mereka minta ditunjukkan satu mukjizat sebagai bukti bahwa Shaleh adalah utusan Allah. Tak Cuma itu. Di luar batas kewajaran manusia, mereka minta seekor unta betina keluar dari celah bebatuan. Nabi Shaleh pun berdoa meminta kepada Yang Maha Kuasa. Doanya dikabulkan, dan keluarlah seekor unta betina dari celah bebatuan. Ia lalu berpesan kepada umatnya, jangan sampai menyakiti unta tersebut, apalagi membunuhnya. Azab Allah akan menyapu bersih, kalau sampai unta tersebut dibunuh. Kaum Tsamud akhirnya sepakat menjadi umat Nabi Shaleh.
Seiring perjalanan waktu, salah seorang umatnya kemudian mengingkari dan nekad membunuh unta tersebut. Menurut riwayat, konon sang pembunuh adalah utusan bersama para petinggi kaum yang diiming-imingi hadiah seorang wanita cantik. Nabi Shaleh marah luar biasa. Ia tahu, azab Allah tidak lama lagi akan datang dan membumi hanguskan kaumnya. Karena, “mukjizat unta” hanyalah simbol kepatuhan kaum Tsamud kepada Allah.
tsamud2Setelah kejadian tersebut, kaum Tsamud masih menantang Nabi Shaleh, karena ternyata azab tidak kunjung datang melanda mereka. Maka, tidak lama berselang, murka Allah pun datang. Angin puting beliung dengan suhu udara yang sangat dingin menyelimuti hari-hari kaum Tsamud, diiringi gempa dahsyat. Akhirnya, kaum Tsamud tenggelam ditelan bumi. Yang tertinggal hanya beberapa rumah dan istana gunung batu sebagai hasil karya besar mereka.
Berjalan 2 km ke arah timur, terdapat peninggalan stasiun kereta api kuno tatkala kawasan Arab Hijaz berada di bawah kekuasaan Dinasti Ustmaniah (Ottoman). Bangunanannya nampak masih terawat apik dan megah. Lokomotif tanpa mesin dan dua buah rangka gerbong, teronggok rapi di jalur rel dalam stasiun. Tidak salah pemerintahan Ustmaniah membangun stasiun di lokasi tersebut. Selain sebagai tempat transit, penumpang kereta dimanjakan dengan pemandangan hamparan Mada’en Shaleh yang terlihat jelas dari stasiun.
Kini, situs ribuan tahun itu masih bisa dinikmati peziarah yang datang untuk se­kadar berwisata atau para arkeolog de­ngan tujuan penelitian. Departemen Pariwisata Saudi gencar memromosikan Mada’en Shaleh sebagai objek wisata se­jarah selain Dir’iyah, situs kota tua Raja Abdul Aziz, pendiri kerajaan Saudi Arabia.

Semoga artikel Peninggalan Kaum Tsamud bermanfaat bagi Anda.

Posting Komentar

sejarah kebudayan islam - All Right Reserved.Powered By Blogger
Theme Designed Kumpulan artikel Menarik